TASAWUF: PARADIGMA DAN LOGIKA
(Sebuah Renungan Awal)
oleh: A.Khozin Afandi
A.Paradigma
Kalau kita membicarakan tasawuf secara kritik pertanyaan pertama yang muncul adalah tentang apakah tasawuf sama dengan akhlak ataukah berbeda. Jika sama, mengapa ia tetap dinamakan tasawuf. Tetapi jika berbeda, pertanyaannya menjadi demikian “adakah perbedaan yang substansial antara keduanya”? Persoalan lainnya adalah mengenai apakah tasawuf memberikan peran secara proporsional terhadap logika rasional ataukah tidak, ataukah ia hanya mengandalkan pada logika tekstual. Melalui paradigma dan logika, renungan ini mencoba memberikan jawaban atas persoalan di atas yang, tentu saja, bersifat hipotetik dan tentatif, atau sebuah jawaban alternatif.
Pada mulanya konsep paradigma yang menjadi demikian populer diperkenalkan oleh Thomas Kuhn. Melalui konsep ini, ia membuat analisis kritik terhadap anggapan yang lazim tentang perkembangan ilmu secara kumulatif. Selanjutnya ia menjelaskan bahwa perkembangan utama dan penting dari ilmu pengetahuan itu akibat dari revolusi, sebuah wawasan baru yang tidak lazim dikenal oleh para pemikir kontemporer. Konsep ini kemudian diaplikasikan untuk sosiologi antara lain oleh Friedrichs dan Ritzer. Menurut keduanya, paradigma adalah anggapan dasar tentang apa yang menjadi pokok persoalan (subject matter) dalam suatu disiplin dan bagaimana aturan-aturannya atau cara kerja untuk menjawab pokok persoalan tersebut. George Ritzer mengembangkan konsep ini untuk memandang sosiologi yang dianggapnya multi paradigma. Sosiologi Durkheim, misalnya, memfokuskan pada fakta sosial menurut cara kerja ilmu natural dengan metode positivisme, yakni mencari fakta yang pasti dan merumuskan hukum. Sosiologi Weber memfokuskan pada tindakan sosial dengan cara kerja hermeneutik yang menekankan metode verstehen yang pernah diajukan oleh Dilthey. Dengan paradigma, pokok persoalan dari sebuah disiplin serta cara kerjanya menjadi jelas dan terpilah. Sebuah disiplin ibarat sebuah wilayah yang memiliki otonomi khas yang ditengarai oleh kriteria substantif-ontologis tentang apa yang manjadi pokok persoalannya, dan kriteria epistemologis-metodologis tentang bagaimana cara kerjanya yang tepat untuk diterapkan baginya.
Kini, paradigma itu diletakkan sebagai lensa pandang untuk melihat tasawuf. Tentu pertanyaan yang muncul adalah tentang apa yang menjadi pokok persoalan tasawuf, dan tentang bagaimana cara kerjanya. Ini merupakan pertanyaan utama yang harus dijawab jika tasawuf hendak dibedakan dari akhlak. Secara teoritis, ada sementara pendapat yang memandang tasawuf itu bagian dari ilmu akhlak dengan alasan karena akhlak merupakan disiplin yang mencakup aturan-aturan mengenai hubungan hamba dengan Tuhannya seperti sabar, tawakkal, taubah, mahabbah, khusyu’, dzikir dengan memperbanyak menyebut nama Allah dan lain-lain serta hubungan sesama manusia. Dengan demikian maka tasawuf adalah akhlak itu sendiri. Dalam pengertian semacam ini, sudah tentu, orang tidak lagi tergerak berusaha menemukan pokok persoalan yang khas tasawuf yang terpilah dan terpisah dari disiplin akhlak yang membedakannya secara substansial. Atau orang tidak lagi mempertanyakan tentang mengapa tasawuf disebut dengan tasawuf dan tidak disebut saja dengan akhlak. Sebaliknya, jika tasawuf diyakini memiliki pokok persoalan yang berbeda dari ilmu akhlak sehingga absah diangap sebagai satu disiplin tersendiri maka tuntutan yang diajukan kepadanya adalah keharusan menemukan pokok persoalan yang khas tasawuf tersebut. Dengan ditemukan pokok persoalan yang khas tasawuf maka keberadaan tasawuf sebagai satu disiplin menjadi mantap.
Apakah pokok persoalan tasawuf yang tidak menjadi garapan akhlak? Seperti lazim diketahui bahwa akhlak mengatur hubungan hamba dengan Tuhannya (hablun minal-lah) dan hubungan hamba dengan sesamanya (hablun minan-nas). Pengertian semacam ini tidak salah namun ia belum memperlihatkan adanya materi pokok yang membedakan tasawuf dari akhlak. Di sinilah terjadi kekaburan wilayah teoritik antara keduanya. Akhlak mengatur hablun minal-lah, dan tasawuf juga menekankan hubungan dengan Allah, lalu apa pokok masalah yang substansial yang membedakan antar keduanya? Jika pertanyaan ini tidak atau belum terjawab maka pokok persoalan tasawuf pun setiap kali akan muncul.
Adapun pokok persoalan (materi pokok) yang khas tasawuf adalah bagaimana hakekat manusia mengenal (ma’rifat) hakekat Allah melalui seorang Wasithah (Guru) yang arif dan ahli dalam ilmu hakekat yang hakiki. Apa yang dimaksud dengan hakekat Allah adalah Zat Allah. Bertemunya hakekat manusia dengan hakekat Allah inilah yang dikonsepsikan dalam tasawuf sebagai ma’rifat bil-lah, yakni mengenal Allah, atau tegasnya mengenal Zat Allah. Inilah pokok persoalan tasawuf dan ini pula yang membedakan tasawuf dari akhlak. Karena tasawuf merupakan sesuatu yang sui generis, maka cara kerjanya juga sui generis, yakni seseorang yang ingin mencari ilmu hakekat harus menemukan Guru yang arif dan ahli dalam ilmu tersebut dan menyatakan diri untuk diberi ilmu yang mengantarkannya kepada ma’rifat bil-lah. Dan dari sinilah seseorang mengawali kehidupan tasawuf, yakni pada saat seseorang berguru kepada seorang Guru yang ahli dan arif dalam ilmu hekekat yang hakiki.
Di samping kekaburan wilayah teorik di atas, dalam wilayah praktis dan empiris juga terjadi kekaburan antara amalan tasawuf dengan usaha magis. Demikian ini karena orang sering melihat gejala-gejala keajaiban yang diperoleh seseorang apakah ia paranormal, peramal nasib, dukun, tukang sulap, ilmu kanoragan-kekebalan dan sejenisnya. Sementara itu di kalangan kaum sufi ada istilah “wali” yang dikenal juga memiliki keajaiban-keajaiban. Dihadapkan pada keajaiban-keajaiabn ini orang sulit membedakan apakah keajaiban-keajaiban itu datang dari Tuhan Allah ataukah dari kekuatan gaib selain Allah. Persoalan ini pernah dipertanyakan oleh William James dalam “The Varieties of Religious Experience”. Katanya, ada kesulitan yang dihadapi oleh seseorang untuk membedakan yang mana yang datang dari Tuhan dan yang mana yang dari setan, karena di dalam wataknya setan bisa meniru membuat keajaiban-keajaiban. Apa yang dipertanyakan oleh James tersebut diulang pertanyakan oleh Mohammad Iqbal dalam bukunya “The Reconstruction of Religious Thought in Islam” sambil mengutip sebuah ayat al-Quran (S. al-Hajj: 52), yang artinya:
“Dan Kami tidak mengutus seorang rasul pun sebelum kamu dan tidak pula seorang nabi melainkan apabila ia mempunyai keinginan setan pun memasukkan godaan-godaan terhadap keinginan itu... .”
Ayat di atas semakna dengan ayat dalam S. al-An’am: 112, yang artinya:
“Dan demikianlah Kami jadikan bagi tiap-tiap nabi itu musuh yaitu setan-setan dari jenis manusia dan jin yang saling membisikkan ucapan- ucapan yang indah untuk menipu daya manusia...”
Terhadap persoalan tentang bagaimana membedakan apa yang datang dari Tuhan dan yang lainnya dari setan yang diajukan oleh James di atas, renungan ini mengajukan jawaban; bergurulah kepada seorang Guru yang arif dan ahli dalam ilmu hakekat yang hakiki. Melalui cara ini orang akan terbantu dapat memilah antara apa yang dari Tuhan dan apa yang datang selain dari Tuhan. Se-seorang yang kesulitan membedakan yang mana uang asli dan yang mana palsu (tiruan), ia tidak bisa lain selain bertanya kepada orang yang ahli masalah itu.
Secara praktis, tasawuf adalah cara beragama yang khas dan karena itu tasawuf menjadi bagian dari agama yang pokok. Ritus agama dan usaha magis, demikian teori Malinowski menyatakan, biasa dibedakan karena tujuan dan maknanya. Ritus agama lebih dipahami sebagai suatu keharusan spiritual untuk memenuhi tuntutan dari yang diyakini (Tuhan), sedangkan usaha magis bertolak dari keinginan seseorang dengan maksud menjadikan kekuatan yang supernatural dan adikodrati memenuhi keinginannya. Lebih tegas lagi KGPAA Mangkunegooro IV dalam serat Wedhotomo terjemahan ke bahasa Indonesia menyatakan,
“Maka bila berguru hendaknya jangan pada sebangsa hal-hal gaib seperti untuk kekebalan, kesaktian lahiriah dan sebagainya. Melainkan bergurulah untuk hekekat atau prinsip-prinsip dirgahayu (keselamatan), antara lain berbakti kepada Tuhan yang Maha Benar agar supaya terjaga atau terjamin kelangsungan hidupnya. Bilamana telah faham serta menguasainya, laksanakan pada setiap saat baik pagi, siang ataupun malam hari tanpa batasan atau hitungan waktu, misalnya hanya satu minggu saja, atau empat puluh hari saja, satu bulan saja dan sebagainya”.
Sebagaimana diketahui, salah satu kekuatan gaib yang supernatural yang selain Allah adalah jin.
B.Logika
Renungan ini juga hendak memperlihatkan logika rasional bagi disiplin tasawuf di samping logika yang bersumber dari teks.
Logika 1. Ulama Islam membuat rumusan, “Allah adalah nama bagi Zat yang wajib wujudnya”. Rumusan semacam ini mengacu kepada ayat pertama surah al-Fatihah yag artinya, “Dengan nama Allah yang Maha Pengasih dan Penyayang”. Allah adalah nama yang memiliki wujud, atau nama yang menunjuk akan adanya Zat yang wujud namun Ghaib-tidak kasat mata.
Logika 2. Jika sebuah nama itu puya zat (being, wujud) maka wujud itu pasti dapat didekati, dihadirkan, dihadiri, atau dikenali. Penulis ingin memberi satu contoh konkrit dalam hal ini nama Presiden RI, yakni SBY. SBY adalah sebuah nama yang menunjuk kepada adanya seseorang yang memiliki nama itu. Orang yang memiliki nama ini dapat dikenali, dapat dihadiri dan dapat didekati. Bapak Fenomenologi, Edmund Husserl, menafsirkan “being” sebagai “present”. Wujud ditandai dengan hadir (kehadiran) ke dalam kesadaran. Seseorang yang menyatakan kenal, dekat dan pernah hadir berhadapan dengan SBY, bermakna orang itu memang pernah hadir di depan wujud yang punya nama itu. Sebaliknya jika seseorang hanya menempatkan “nama SBY” dan diletakkan di dekatnya lalu menyatakan bahwa ia dekat dengan SBY, maka orang ini telah membuat kepalsuan. Sebab yang sebenarnya terjadi bahwa dia hanya dekat dengan nama yang diletakkan di sampingnya, dan tidak dengan wujud yang memiliki nama itu.
Logika selanjutnya, sudah benar rakyat Indonesia percaya bahwa nama Presiden RI saat ini adalah SBY, tetapi tidak semua rakyat Indonesia yang punya kepercayaan ini sudah pernah kenal, bertemu muka, hadir dan mendekat dengan wujud (orang) yang memiliki nama SBY. Inilah kias cara keberagamaan kaum sufi. Dia tidak hanya percaya kepada Allah melainkan meneruskan sampai kepada mengenal Zat (wujud) yang yang memiliki nama Allah. Caranya seperti telah disinggung di atas; berguru kepada seorang Guru yang ahli dan arif dalam ilmu hakekat yang hakiki, sebab tanpa melalui ini seseorang tidak bisa mengenal Zat yang wajibul-wujud itu.
Logika 3. Zat (being, wujud) itu dapat ditangkap oleh rasio-akal dan oleh rasa. Akal memiliki kemampuan membuat deskripsi atau abstraksi, mungkin disebut konsep, definisi, atau teori yang menggambarkan sesuatu. Dahulu Aristoteles telah menyatakan, jika akal kita membuat abstraksi tentang sebongkah batu, batu itu sendiri tidak masuk ke dalam akal kita. Yang ada dalam akal kita hanyalah gambaran dari sebuah wujud. Sedangkan rasa menangkap wujud sesuatu melalui sentuhan atau pegenalan langsung. Ketika kita melihat (sentuhan mata) sesuatu, kita merasakan indahnya sesuatu. Kalau kita makan (sentuhan lisan) sesuatu, kita merasakan nikmatnya sesuatu, dan seterusnya. Melalui mata, lidah, telinga, dan organ-organ lainnya kita berkenalan langsung dengan sesuatu (dengan wujud). Di sisi lain rasa juga mengandung unsur kognisi. Kata Suhrawardi, “Man lam yadhuq lam ya’rif”. (siapa yang tidak merasa, maka ia tidak mengenal). Dalam wacana tasawuf, rasa itulah yang mengenal langsung terhadap Zat Tuhan. Seperti kalau kita tersandung batu, kita mengenali secara langsung bahwa batu itu keras. Dalam hal ini rasalah yang sejatinya mengetahui bahwa batu itu keras melalui kehadiran atau pengenalan langsung. Dan pengenalan langsung inilah yang dikonsepsikan sebagai “irfan” melalu metode “huduri” (kehadiran) . Apa yang hadir langsung kepada diri kita adalah wujud (being) dan bukan nama.
Logika 4. Rasa adalah dasar dan hakekat manusia. Rasa disebut “dasar” karena ia merupakan sumber munculnya sejumlah aktivitas. Demikianlah kita menyaksikan aktivitas seseorang yang seakan tanpa lelah mengejar ilmu pengetahuan, melakukan penelitian, eksperimen-eksperimen, mencari informasi dan seterusnya karena didorong oleh rasa ingin tahu yang mendominasi dirinya. Demikian juga rasa ingin berkuasa, rasa ingin memiliki harta kekayaan mendorong aktivitas seseorang mencari kesempatan guna meraih kekuasaan dan bekerja tanpa lelah untuk meraih apa yang diinginkan.
Dalam wacana tasawuf, rasa ini memiliki tugas pokok, yakni mengenal Tuhan Allah, mengenal ZatNya atau “ma’rifat bil-lah”. Bisa jadi tugas pokok ini dilupakan akan tetapi tidak bisa dihilangkan. Dengan hadirnya Zat Allah ke dalam rasa, memberi peluang bagi seseorang merasakan nikmatnya beragama dan merasakan nikmatnya beribadah, dan rasa di dalam hatinya menjadi tidak dikuasai oleh keinginan-keinginan duniawiah melulu. Dari sinilah dimulai reorientasi eksistensial melalui transformasi karakter guna membangun sebuah kepribadian yang mulia dan meninggalkan karakter-karakter yang tercela dan merugikan diri sendiri ataupun masyarakat. Apa yang ingin ditegaskan di sini adalah bahwa tasawuf bisa menjadi titik awal membangun sebuah kepribadian. Sebelum seseorang masuk ke dalam gelanggang dan arena perjuangan yang tidak pernah sepi dari berbagai jenis tantangan, akan seyogya jika ia lebih dahulu mempersiapkan se-buah kepribadian yang mantap. Secara implisit ini berarti bahwa tasawuf sejatinya punya perhatian secara kualitatif terhadap nasib sejarah dan peradaban.
Dalam wacana tasawuf juga dinyatakan bahwa rasa adalah hekekat manusia. Ia disebut hakekat, karena rasa ini tidak akan mati. Apa yang dipakai nanti dalam hidup di akhirat adalah juga rasa yang dipakai di dunia ini. Apakah seseorang akan menikmati indahnya kehidupan di akhirat ataukah ia akan mengalami penderitaan akibat siksa yang dahsyat dan menyedihkan. Rasa yang kita pakai dalam hidup di akhirat persis seperti rasa yang kita pakai untuk hidup di dunia ini. Karena akhirat disebut sebagai “hari pembalasan” maka kehidupan akhirat sesungguhnya lebih gamblang dan lebih jelas dibanding kehidupan di dunia. Dalam khidupan di akhirat ini, alasan-alasan rasional mengapa ia membangkang dan mengingkari perintah-perintah yang datang dari Tuhan yang menguasai dunia dan akhirat sudah tidak diterima. Orang yang memperoleh nikmat, secara gamblang dan jelas, ia benar-benar merasakan indahnya kehidupan akhirat, sebaliknya, seseorang yang tertimpa siksa, secara gamblang dan jelas, ia merasakan langsung sakitnya pende-ritaan dalam kehidupan akhirat. Rasa adalah hakekat manusia dan karena itu, kenal-kanlah hakekat ini dengan Zat yang hakiki yang menguasai kehidupan dunia dan akhirat.
oleh: A.Khozin Afandi
A.
Kalau kita membicarakan tasawuf secara kritik pertanyaan pertama yang muncul adalah tentang apakah tasawuf sama dengan akhlak ataukah berbeda. Jika sama, mengapa ia tetap dinamakan tasawuf. Tetapi jika berbeda, pertanyaannya menjadi demikian “adakah perbedaan yang substansial antara keduanya”? Persoalan lainnya adalah mengenai apakah tasawuf memberikan peran secara proporsional terhadap logika rasional ataukah tidak, ataukah ia hanya mengandalkan pada logika tekstual. Melalui paradigma dan logika, renungan ini mencoba memberikan jawaban atas persoalan di atas yang, tentu saja, bersifat hipotetik dan tentatif, atau sebuah jawaban alternatif.
Pada mulanya konsep paradigma yang menjadi demikian populer diperkenalkan oleh Thomas Kuhn. Melalui konsep ini, ia membuat analisis kritik terhadap anggapan yang lazim tentang perkembangan ilmu secara kumulatif. Selanjutnya ia menjelaskan bahwa perkembangan utama dan penting dari ilmu pengetahuan itu akibat dari revolusi, sebuah wawasan baru yang tidak lazim dikenal oleh para pemikir kontemporer. Konsep ini kemudian diaplikasikan untuk sosiologi antara lain oleh Friedrichs dan Ritzer. Menurut keduanya, paradigma adalah anggapan dasar tentang apa yang menjadi pokok persoalan (subject matter) dalam suatu disiplin dan bagaimana aturan-aturannya atau cara kerja untuk menjawab pokok persoalan tersebut. George Ritzer mengembangkan konsep ini untuk memandang sosiologi yang dianggapnya multi paradigma. Sosiologi Durkheim, misalnya, memfokuskan pada fakta sosial menurut cara kerja ilmu natural dengan metode positivisme, yakni mencari fakta yang pasti dan merumuskan hukum. Sosiologi Weber memfokuskan pada tindakan sosial dengan cara kerja hermeneutik yang menekankan metode verstehen yang pernah diajukan oleh Dilthey. Dengan paradigma, pokok persoalan dari sebuah disiplin serta cara kerjanya menjadi jelas dan terpilah. Sebuah disiplin ibarat sebuah wilayah yang memiliki otonomi khas yang ditengarai oleh kriteria substantif-ontologis tentang apa yang manjadi pokok persoalannya, dan kriteria epistemologis-metodologis tentang bagaimana cara kerjanya yang tepat untuk diterapkan baginya.
Kini, paradigma itu diletakkan sebagai lensa pandang untuk melihat tasawuf. Tentu pertanyaan yang muncul adalah tentang apa yang menjadi pokok persoalan tasawuf, dan tentang bagaimana cara kerjanya. Ini merupakan pertanyaan utama yang harus dijawab jika tasawuf hendak dibedakan dari akhlak. Secara teoritis, ada sementara pendapat yang memandang tasawuf itu bagian dari ilmu akhlak dengan alasan karena akhlak merupakan disiplin yang mencakup aturan-aturan mengenai hubungan hamba dengan Tuhannya seperti sabar, tawakkal, taubah, mahabbah, khusyu’, dzikir dengan memperbanyak menyebut nama Allah dan lain-lain serta hubungan sesama manusia. Dengan demikian maka tasawuf adalah akhlak itu sendiri. Dalam pengertian semacam ini, sudah tentu, orang tidak lagi tergerak berusaha menemukan pokok persoalan yang khas tasawuf yang terpilah dan terpisah dari disiplin akhlak yang membedakannya secara substansial. Atau orang tidak lagi mempertanyakan tentang mengapa tasawuf disebut dengan tasawuf dan tidak disebut saja dengan akhlak. Sebaliknya, jika tasawuf diyakini memiliki pokok persoalan yang berbeda dari ilmu akhlak sehingga absah diangap sebagai satu disiplin tersendiri maka tuntutan yang diajukan kepadanya adalah keharusan menemukan pokok persoalan yang khas tasawuf tersebut. Dengan ditemukan pokok persoalan yang khas tasawuf maka keberadaan tasawuf sebagai satu disiplin menjadi mantap.
Apakah pokok persoalan tasawuf yang tidak menjadi garapan akhlak? Seperti lazim diketahui bahwa akhlak mengatur hubungan hamba dengan Tuhannya (hablun minal-lah) dan hubungan hamba dengan sesamanya (hablun minan-nas). Pengertian semacam ini tidak salah namun ia belum memperlihatkan adanya materi pokok yang membedakan tasawuf dari akhlak. Di sinilah terjadi kekaburan wilayah teoritik antara keduanya. Akhlak mengatur hablun minal-lah, dan tasawuf juga menekankan hubungan dengan Allah, lalu apa pokok masalah yang substansial yang membedakan antar keduanya? Jika pertanyaan ini tidak atau belum terjawab maka pokok persoalan tasawuf pun setiap kali akan muncul.
Adapun pokok persoalan (materi pokok) yang khas tasawuf adalah bagaimana hakekat manusia mengenal (ma’rifat) hakekat Allah melalui seorang Wasithah (Guru) yang arif dan ahli dalam ilmu hakekat yang hakiki. Apa yang dimaksud dengan hakekat Allah adalah Zat Allah. Bertemunya hakekat manusia dengan hakekat Allah inilah yang dikonsepsikan dalam tasawuf sebagai ma’rifat bil-lah, yakni mengenal Allah, atau tegasnya mengenal Zat Allah. Inilah pokok persoalan tasawuf dan ini pula yang membedakan tasawuf dari akhlak. Karena tasawuf merupakan sesuatu yang sui generis, maka cara kerjanya juga sui generis, yakni seseorang yang ingin mencari ilmu hakekat harus menemukan Guru yang arif dan ahli dalam ilmu tersebut dan menyatakan diri untuk diberi ilmu yang mengantarkannya kepada ma’rifat bil-lah. Dan dari sinilah seseorang mengawali kehidupan tasawuf, yakni pada saat seseorang berguru kepada seorang Guru yang ahli dan arif dalam ilmu hekekat yang hakiki.
Di samping kekaburan wilayah teorik di atas, dalam wilayah praktis dan empiris juga terjadi kekaburan antara amalan tasawuf dengan usaha magis. Demikian ini karena orang sering melihat gejala-gejala keajaiban yang diperoleh seseorang apakah ia paranormal, peramal nasib, dukun, tukang sulap, ilmu kanoragan-kekebalan dan sejenisnya. Sementara itu di kalangan kaum sufi ada istilah “wali” yang dikenal juga memiliki keajaiban-keajaiban. Dihadapkan pada keajaiban-keajaiabn ini orang sulit membedakan apakah keajaiban-keajaiban itu datang dari Tuhan Allah ataukah dari kekuatan gaib selain Allah. Persoalan ini pernah dipertanyakan oleh William James dalam “The Varieties of Religious Experience”. Katanya, ada kesulitan yang dihadapi oleh seseorang untuk membedakan yang mana yang datang dari Tuhan dan yang mana yang dari setan, karena di dalam wataknya setan bisa meniru membuat keajaiban-keajaiban. Apa yang dipertanyakan oleh James tersebut diulang pertanyakan oleh Mohammad Iqbal dalam bukunya “The Reconstruction of Religious Thought in Islam” sambil mengutip sebuah ayat al-Quran (S. al-Hajj: 52), yang artinya:
“Dan Kami tidak mengutus seorang rasul pun sebelum kamu dan tidak pula seorang nabi melainkan apabila ia mempunyai keinginan setan pun memasukkan godaan-godaan terhadap keinginan itu... .”
Ayat di atas semakna dengan ayat dalam S. al-An’am: 112, yang artinya:
“Dan demikianlah Kami jadikan bagi tiap-tiap nabi itu musuh yaitu setan-setan dari jenis manusia dan jin yang saling membisikkan ucapan- ucapan yang indah untuk menipu daya manusia...”
Terhadap persoalan tentang bagaimana membedakan apa yang datang dari Tuhan dan yang lainnya dari setan yang diajukan oleh James di atas, renungan ini mengajukan jawaban; bergurulah kepada seorang Guru yang arif dan ahli dalam ilmu hakekat yang hakiki. Melalui cara ini orang akan terbantu dapat memilah antara apa yang dari Tuhan dan apa yang datang selain dari Tuhan. Se-seorang yang kesulitan membedakan yang mana uang asli dan yang mana palsu (tiruan), ia tidak bisa lain selain bertanya kepada orang yang ahli masalah itu.
Secara praktis, tasawuf adalah cara beragama yang khas dan karena itu tasawuf menjadi bagian dari agama yang pokok. Ritus agama dan usaha magis, demikian teori Malinowski menyatakan, biasa dibedakan karena tujuan dan maknanya. Ritus agama lebih dipahami sebagai suatu keharusan spiritual untuk memenuhi tuntutan dari yang diyakini (Tuhan), sedangkan usaha magis bertolak dari keinginan seseorang dengan maksud menjadikan kekuatan yang supernatural dan adikodrati memenuhi keinginannya. Lebih tegas lagi KGPAA Mangkunegooro IV dalam serat Wedhotomo terjemahan ke bahasa Indonesia menyatakan,
“Maka bila berguru hendaknya jangan pada sebangsa hal-hal gaib seperti untuk kekebalan, kesaktian lahiriah dan sebagainya. Melainkan bergurulah untuk hekekat atau prinsip-prinsip dirgahayu (keselamatan), antara lain berbakti kepada Tuhan yang Maha Benar agar supaya terjaga atau terjamin kelangsungan hidupnya. Bilamana telah faham serta menguasainya, laksanakan pada setiap saat baik pagi, siang ataupun malam hari tanpa batasan atau hitungan waktu, misalnya hanya satu minggu saja, atau empat puluh hari saja, satu bulan saja dan sebagainya”.
Sebagaimana diketahui, salah satu kekuatan gaib yang supernatural yang selain Allah adalah jin.
B.
Renungan ini juga hendak memperlihatkan logika rasional bagi disiplin tasawuf di samping logika yang bersumber dari teks.
Logika 1. Ulama Islam membuat rumusan, “Allah adalah nama bagi Zat yang wajib wujudnya”. Rumusan semacam ini mengacu kepada ayat pertama surah al-Fatihah yag artinya, “Dengan nama Allah yang Maha Pengasih dan Penyayang”. Allah adalah nama yang memiliki wujud, atau nama yang menunjuk akan adanya Zat yang wujud namun Ghaib-tidak kasat mata.
Logika 2. Jika sebuah nama itu puya zat (being, wujud) maka wujud itu pasti dapat didekati, dihadirkan, dihadiri, atau dikenali. Penulis ingin memberi satu contoh konkrit dalam hal ini nama Presiden RI, yakni SBY. SBY adalah sebuah nama yang menunjuk kepada adanya seseorang yang memiliki nama itu. Orang yang memiliki nama ini dapat dikenali, dapat dihadiri dan dapat didekati. Bapak Fenomenologi, Edmund Husserl, menafsirkan “being” sebagai “present”. Wujud ditandai dengan hadir (kehadiran) ke dalam kesadaran. Seseorang yang menyatakan kenal, dekat dan pernah hadir berhadapan dengan SBY, bermakna orang itu memang pernah hadir di depan wujud yang punya nama itu. Sebaliknya jika seseorang hanya menempatkan “nama SBY” dan diletakkan di dekatnya lalu menyatakan bahwa ia dekat dengan SBY, maka orang ini telah membuat kepalsuan. Sebab yang sebenarnya terjadi bahwa dia hanya dekat dengan nama yang diletakkan di sampingnya, dan tidak dengan wujud yang memiliki nama itu.
Logika selanjutnya, sudah benar rakyat Indonesia percaya bahwa nama Presiden RI saat ini adalah SBY, tetapi tidak semua rakyat Indonesia yang punya kepercayaan ini sudah pernah kenal, bertemu muka, hadir dan mendekat dengan wujud (orang) yang memiliki nama SBY. Inilah kias cara keberagamaan kaum sufi. Dia tidak hanya percaya kepada Allah melainkan meneruskan sampai kepada mengenal Zat (wujud) yang yang memiliki nama Allah. Caranya seperti telah disinggung di atas; berguru kepada seorang Guru yang ahli dan arif dalam ilmu hakekat yang hakiki, sebab tanpa melalui ini seseorang tidak bisa mengenal Zat yang wajibul-wujud itu.
Logika 3. Zat (being, wujud) itu dapat ditangkap oleh rasio-akal dan oleh rasa. Akal memiliki kemampuan membuat deskripsi atau abstraksi, mungkin disebut konsep, definisi, atau teori yang menggambarkan sesuatu. Dahulu Aristoteles telah menyatakan, jika akal kita membuat abstraksi tentang sebongkah batu, batu itu sendiri tidak masuk ke dalam akal kita. Yang ada dalam akal kita hanyalah gambaran dari sebuah wujud. Sedangkan rasa menangkap wujud sesuatu melalui sentuhan atau pegenalan langsung. Ketika kita melihat (sentuhan mata) sesuatu, kita merasakan indahnya sesuatu. Kalau kita makan (sentuhan lisan) sesuatu, kita merasakan nikmatnya sesuatu, dan seterusnya. Melalui mata, lidah, telinga, dan organ-organ lainnya kita berkenalan langsung dengan sesuatu (dengan wujud). Di sisi lain rasa juga mengandung unsur kognisi. Kata Suhrawardi, “Man lam yadhuq lam ya’rif”. (siapa yang tidak merasa, maka ia tidak mengenal). Dalam wacana tasawuf, rasa itulah yang mengenal langsung terhadap Zat Tuhan. Seperti kalau kita tersandung batu, kita mengenali secara langsung bahwa batu itu keras. Dalam hal ini rasalah yang sejatinya mengetahui bahwa batu itu keras melalui kehadiran atau pengenalan langsung. Dan pengenalan langsung inilah yang dikonsepsikan sebagai “irfan” melalu metode “huduri” (kehadiran) . Apa yang hadir langsung kepada diri kita adalah wujud (being) dan bukan nama.
Logika 4. Rasa adalah dasar dan hakekat manusia. Rasa disebut “dasar” karena ia merupakan sumber munculnya sejumlah aktivitas. Demikianlah kita menyaksikan aktivitas seseorang yang seakan tanpa lelah mengejar ilmu pengetahuan, melakukan penelitian, eksperimen-eksperimen, mencari informasi dan seterusnya karena didorong oleh rasa ingin tahu yang mendominasi dirinya. Demikian juga rasa ingin berkuasa, rasa ingin memiliki harta kekayaan mendorong aktivitas seseorang mencari kesempatan guna meraih kekuasaan dan bekerja tanpa lelah untuk meraih apa yang diinginkan.
Dalam wacana tasawuf, rasa ini memiliki tugas pokok, yakni mengenal Tuhan Allah, mengenal ZatNya atau “ma’rifat bil-lah”. Bisa jadi tugas pokok ini dilupakan akan tetapi tidak bisa dihilangkan. Dengan hadirnya Zat Allah ke dalam rasa, memberi peluang bagi seseorang merasakan nikmatnya beragama dan merasakan nikmatnya beribadah, dan rasa di dalam hatinya menjadi tidak dikuasai oleh keinginan-keinginan duniawiah melulu. Dari sinilah dimulai reorientasi eksistensial melalui transformasi karakter guna membangun sebuah kepribadian yang mulia dan meninggalkan karakter-karakter yang tercela dan merugikan diri sendiri ataupun masyarakat. Apa yang ingin ditegaskan di sini adalah bahwa tasawuf bisa menjadi titik awal membangun sebuah kepribadian. Sebelum seseorang masuk ke dalam gelanggang dan arena perjuangan yang tidak pernah sepi dari berbagai jenis tantangan, akan seyogya jika ia lebih dahulu mempersiapkan se-buah kepribadian yang mantap. Secara implisit ini berarti bahwa tasawuf sejatinya punya perhatian secara kualitatif terhadap nasib sejarah dan peradaban.
Dalam wacana tasawuf juga dinyatakan bahwa rasa adalah hekekat manusia. Ia disebut hakekat, karena rasa ini tidak akan mati. Apa yang dipakai nanti dalam hidup di akhirat adalah juga rasa yang dipakai di dunia ini. Apakah seseorang akan menikmati indahnya kehidupan di akhirat ataukah ia akan mengalami penderitaan akibat siksa yang dahsyat dan menyedihkan. Rasa yang kita pakai dalam hidup di akhirat persis seperti rasa yang kita pakai untuk hidup di dunia ini. Karena akhirat disebut sebagai “hari pembalasan” maka kehidupan akhirat sesungguhnya lebih gamblang dan lebih jelas dibanding kehidupan di dunia. Dalam khidupan di akhirat ini, alasan-alasan rasional mengapa ia membangkang dan mengingkari perintah-perintah yang datang dari Tuhan yang menguasai dunia dan akhirat sudah tidak diterima. Orang yang memperoleh nikmat, secara gamblang dan jelas, ia benar-benar merasakan indahnya kehidupan akhirat, sebaliknya, seseorang yang tertimpa siksa, secara gamblang dan jelas, ia merasakan langsung sakitnya pende-ritaan dalam kehidupan akhirat. Rasa adalah hakekat manusia dan karena itu, kenal-kanlah hakekat ini dengan Zat yang hakiki yang menguasai kehidupan dunia dan akhirat.
FENOMENA PERAHU NABI NUH DAN CARA MENAIKINYA
Oleh : Roni M. Jamaludin
Menaiki perahu Nabi Nuh ..? Ah, mustahil terjadi. Nabi Nuh kan hidupnya sudah ratusan tahun yang lalu, mana mungkin kita bisa menaiki perahunya!! Apalagi wujud perahunya sekarang tidak ada (belum ditemukan). Terus perahunya kayak apa, dimana letaknya, bagaimana bisa menaikinya, bukankah pula seharusnya sudah hancur ditelan jaman? Dan seterusnya-dan seterusnya.
Begitulah kiranya ketika secara sekilas membaca judul di atas. Dan, secara spontan pula akan berkesimpulan bahwa hal tersebut “mustahil” terjadi. Apalagi pandangan logika juga sangat tidak mendukung. Bahkan dapat dikatakan suatu hal yang sangat imposible.
Tetapi, ketika membaca sabda Nabi SAW, yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari, al-Hakim dan Adz Dzahabi, segala ketidakmungkinan di atas akan terjawab dengan sendirinya. Hadits tersebut adalah :
“Aku adalah kotanya ilmu dan kamu Ya Ali adalah pintunya. Dan janganlah masuk kota kecuali dengan lewat pintunya. Berdustalah orang yang mengatakan cinta kepadaku tetapi membenci kamu karena kamu adalah bagian dariku, dan aku adalah bagian darimu. Dagingmu adalah dagingku, darahmu adalah darahku, rohmu adalah rohku, rahasiamu adalah rahasiaku, penjelasanmu adalah penjelasanku. Berbahagialah orang yang patuh kepadamu dan celakalah orang yang menolakmu. Beruntunglah orang yang mencintaimu dan merugilah orang yang memusuhimu.Sejahteralah orang yang mengikutimu dan binasalah orang yang berpaling darimu.
Kamu dan para imam dari keturunanmu sesudahku ibarat perahu nabi Nuh; siapa yang naik di atasnya selamat, dan siapa yang menolak (tidak mau mengiktu seruannya) akan tenggelam. Kamu semua seperti bintang ; setiap kali bintang itu tenggelam, terbit lagi bintang sampai hari kiyamat”
Hadits di atas dengan jelas dapat disimak bahwa Nabi SAW telah memproklamasikan diri “Aku adalah kotanya ilmu dan kamu Ya Ali adalah pintunya”. Hal ini kalau dicermati akan didapat dua permasalahan. Yaitu pernyataan diri Nabi SAW sebagai kota Ilmu dan penegasan pengangkatan Ali bin Abu Thalib sebagai pintu memasuki kotanya.
Pendeklarasian sebagai kota ilmu sekaligus penunjukkan pintu memasukinya, secara logika tentu akan mengundang berbagai pertanyaan. Misalnya sebagai kotanya ilmu, ilmu apakah atau ilmu yang manakah gerangan? Apakah ilmu fisika, astronomi, aljabar, kedokteran atau ilmu-ilmu yang lain?. Demikian pula tentang pengangkatan Ali sebagai pintunya. Siapakah beliau sebenarnya, dari kalangan bangsa manakah, factor pakah yang melatarbelakangi hingga beliau begitu sangat istimewa di hadapan Nabi SAW?
Sementara itu bila dilihat dari latar belakang pendidikan, serta kehidupan beliau (Nabi SAW) sejak kecil yang selalu dalam keadaan lara-tapa (sengsara)—hingga saking susahnya tidak pernah memikirkan bangku sekolah—kiranya sangat mustahil beliau menguasai ilmu-ilmu tersebut. Apalagi hingga menamakan diri sebagai kota ilmu. Lantas ilmu yang manakah gerangan?
Disinilah yang perlu dikaji, dianalisis, dan ditafakuri secara fundamental. Tidak diragukan lagi bahwa Nabi SAW memproklamasikan diri sebagai kota ilmu setelah Beliau secara resmi telah diangkat sebagai Utusan Tuhan (Rasulullah). Yaitu sebagai Wakil Tuhan dalam rangka membimbing umta manusia memenuhi kehendakNya-berupa segenap peraturan (system keyakinan), petunjuk maupun larangan yang harus dilakukan manusia agar bisa bertemu kembali dengan Diri-Nya-yang kemudian disebut ajaran Islam. Oleh karenanya, ilmunya pun adalah ilmu yang memperkenalkan jati diri hamba dengan keberadaan Jati Diri Dzat Tuhan. Persis sebagaimana ketika telah mengenal dengan yakin Wujud-Nya di alam “arwah”, sehingga waktu itu berani menerima persaksian yang diberikan Tuhan . Kemudian setelah mengenal kembali Jati Diri Tuhanseperti yang disaksikan di alam arwah tersebut, selanjutnya dijadikan “total target” yang hendak dituju dalam menjalani hidup dan kehidupan ini. Sehingga ketika mati yang pasti harus dijumpai, dapat/bisa selamat pulang kembali di sisi Dzat yang Berkuasa, ilaa Rabbiha nadhiroh.
Persaksian yang dimaksud adalah seperti yang difirmankan dalam Q.S. Al-A’raf 172 :”…alastu bi Rabbikum qaalu balaa syahidna..”. Bukankah AKU ini Tuhanmu, begitulah kalimat persaksian yang diberikan Tuhan. Kalimat tersebut menggunakan kata AKU, ini bahwa Dzat Tuhan ngejawantah (menampakkan diri) di depan hamba. Kemudian semua manusia yang waktu itu masih berupa intinya (sirr) menjawab : benar (Engkau Tuhan kami), kami menjadi saksi. Semua manusia tanpa terkecuali, apakah yang akan dijadikan utusan-Nya, hamba biasa ataupun yang akan menjadi pembangkang terhadap perintah-Nya semua bersaksi. Semuanya mengetahui persis, mengetahui dengan pasti atas keberadaan Dzat Tuhan. Sehingga karena haqqul yakinya melihat/menyaksikan kemudian mau bersaksi, menyatakan kebenaran Wujud Dzat Tuhan.
Kembali pada kota ilmu, dengan demikian, yang dimaksud kota ilmu adalah ilmu yang menunjukkan/mengenalkan kembali Jati Diri Dzat Tuhan sebagaimana halnya ketika masih di alam arwah telah seyakinnya mengenal. Logikanya, memang sewajarnya dan seharusnya manusia itu asalnya dari Tuhan, kembali kepada Tuhan. Tuhan dalam arti Dzat bukan nama/sebutan/istilah. Ini yang harus dikenal dengan yakin dan pasti. Tidak bisa hanya melalui metode kira-kira, angan-angan, apalagi hanya menduga-duga dari tempat yang jauh. Tempat mengenalnya adalah hati nurani, roh dan rasa, bukannya otak/akal pikiran. Cara mengenalnya/mengetahuinya adalah dengan “digurukan” kepada ahlinya. Sebagaimana halnya Nabi SAW yang juga berguru kepada utusan-Nya (Jibril). Sangat pas/cocok dengan petunjukknya, bila perkara tidak ditanyakan kepada ahlinya, tunggulah kehancurannya.
Di sisi lain, mengenali dengan yakin Dzat-Nya, merupakan implementasi dari perintah-Nya “sesungguhnya aku ini adalah Allah, tidak ada tuhan selain Aku, maka sembahlah Aku, dan dirikan Shalat untuk mengingat Aku” (Q.S Thaha:14). Perintah ini menegaskan bahwa “sebenarnya” yang hak disembah adalah Aku (maka sembahlah Aku). Aku yang mempunyai nama Allah. Aku yang memperkenalkan diri dengan 99 asma lainnya (Asmaul Husna). Dan Aku yang disebut-sebut oleh manusia (hamba-nya) dengan beratus-ratus nama lain (missal : God, Tuhan, Gusti, Yahweh, Pangeran, Sang Hyang Widi Wasya dan lain sebagainya). Aku inilah yang dikenali terlebih dahulu, kemudian disembahnya secara khusyuk dan didzikiri (diingat-ingat) baik ketika berdiri, duduk ataupun berbaring.
Selanjutnya mengenai penegasan/pengangkatan Ali bin Abi Thalib sebagai pintu memasuki kota ilmu, ini menunjukkan bahwa beliaulah yang “terpilih” dapat membawa umat memasuki kota ilmu-nya Nabi SAW. Karena Nabi SAW secara fisik juga manusia biasa yang pada saatnya pasti meninggalkan dunia (mati), maka beliau ( berdasarkan petunjuk Tuhan tentunya) melakukan “regenerasi” kepemimpinan.
Kemudiann yang jadi permasalahan baru, mengapa yang terpilih Ali bin Abi Thalib yang konon hanya hamba biasa, bukan para tokoh pemikir ataupun bangsawan yang waktu itu juga banyak didapat (yang pada akhirnya menimbulkan kecemburuan sesama mereka)?. Permasalahan inilah yang “seharusnya” dimengerti oleh umat manusia, bahwa Tuhan yang kuasa segala-galanya”. Tidak dapat diprediksi sedikitpun apa yang menjadi keputusanNya. Termasuk ketika akan mengangkat Nabi SAW sebagai utusan-Nya, yang menurut ukuran akal jauh sekali kemampuan intelektual maupun ketokohannya dibanding dengan “elit bangsawan” yang ada pada waktu itu.
Jadi Nabi SAW menghendai Ali sebagai pintu untuk bisa memasuki ilmu yang dibawanya – yang juga jauh sama sekali dengan prediksi para tokoh waktu itu –sama halnya dengan pengangkatan Nabi SAW sendiri sebagai utusan-Nya. Hal demikian sudah tentu bukan atas dasar inisiatif Nabi SAW sendiri, melainkan, tentu saja atas petunjuk dari Tuhan Yang Maha Kuasa. Mengapa harus diperdebatkan (waktu itu dan apalagi sekarang?)
Disamping penegasan sebagai “pintu menuju Tuhan” dilengkapi pula dengan gelar khusu untuk mengokohkan kedudukan Ali, di antaranya “
• Kamu (Ali) adalah bagian dariku (Nabi) dan aku (Nabi) adalah bagian darimu (Ali)
• Dagingmu (Ali) adalah dagingku (Nabi)
• Darahmu (Ali) adalah darahku (Nabi)
• Rohmu (Ali) adalah rohku (Nabi)
• Rahasiamu (Ali) adalah rahasiaku (Nabi)
• Penjelasanmu (Ali) adalah penjelasanku (Nabi)
• Berbahagialah orang yang patuh kepadamu (Ali)dan celakalah orang yang menolakmu
• Beruntunglah orang yang mencintaimu (Ali) dan merugilah orang yang memusuhimu
• Sejahteralah orang yang mengikutimu (Ali) dan binasalah orang yang berpaling darimu.
Dari ke sembilan gelar khusus yang diberikan kepada Ali bin Abi Thalib tersebut bisa dicermati, betapa istimewanya kedudukan beliau dihadapan/disisi Nabi SAW. Sehingga bisa dikatakan kedudukan beliau bagaikan Harun dengan Musa. Atau bagaikan Ibrahim dengan Ismail. Dalam bahasa filsafatnya “satu di dalam dua, dua di dalam satu”. Satu sama lain sangat menguatkan, saling melengkapi, dan bergandengan sangat erat bagaikan sebuah mata rantai.
Berbahagialah orang yang patuh kepadamu (Ali)dan celakalah orang yang menolakmu. Beruntunglah orang yang mencintaimu (Ali) dan merugilah orang yang memusuhimu. Sejahteralah orang yang mengikutimu (Ali) dan binasalah orang yang berpaling darimu.
Dari kedua hal di atas, kota ilmu maunpun pintunya, ada sabda Nabi SAW berikutnya juga sangat menentukan. Yaitu “Kamu dan para imam dari anak keturunanmu sesudahku ibarat perahu Nabi Nuh”. Jelasnya antara Ali dan para Imam dari anak keturunan Ali adalah bagaikan perahu Nuh. Perahu yang dapat menyelamatkan umat dari kehancuran, yang memang Tuhan sendiri yang akan menghancurkannya. Impelentasinya, setelah Ali wafat akan dilanjutkan oleh para “imam” dari anak keturunan Ali yang berkedudukan sebagai pintu menuju kota ilmu, yang akan melanjutkan tugas dari Nabi SAW sebagai pintu memasuki ilmu beliau. Sudah tentu penunjukkan Ali kepada keturunannya maupun penunjukkan keturunannya kepada keturunan berikutnya lagi dan seterusnya atas dasar petunjuk dari Tuhan. Sama sekali bukan rekayasa maupun inisiatif sendiri. Bukan pula atas dasar musyawarah maupun pilihan suara. Melainkan murni kehendak Yang Maha Kuasa semata. Seperti halnya ketika nabi akan mengangkat Ali sebagai pintu memasuki ilmunya.
Selanjutnya, ”Siapa yang naik di atasnya akan selamat dan siapa yang menolak (tidak naik) akan tenggelam”. Siapa yang mengiktui semua petunjuk dan tuntunan Ali beserta para Imam sesudahnya akan diselamatkan Tuhan, tetapi siapa yang menolaknya akan ditenggelamkan dalam bencana yang memang sudah disiapkan bagi hamba yang mengingkari ayat-ayatnya.
Keberadaan Ali dan para imam dari anak keturunan beliau ini adalah seperti bintang, yang memberi cahaya penerang ketika kegelapan datang. Setiap kali bintang itu tenggelam akan terbit lagi sampai hari kiyamat. Setiap kali para imam itu meninggal dunia akan muncul lagi imam yang lain hingga kiyamat tiba. Kemunculannya sama sekali tidak dapat diprediksi oleh manusia. Sama sekali bukan karenaatas dasar musyawarah ataupun keturunan darah, melainkan memang sudah menjadi kehendak Yang Maha Kuasa.
Walhasil, menaiki perahu nabi Nuh ataupun memasuki kota ilmu Nabi SAW, satu-satunya jalan adalah menemukan para imam yang telah di-”nash”-kan Nabi SAW, yang dimulai oleh sayyidina Ali, dilanjutkan Imam Hasan dan Imam Husen, kemudian dilanjutkan para Imam sesudahnya. Tidak akan pernah putus keberadaan (keberlanjutan)nya sampai kiamat. Setiap kali tenggelam (mati) pasti akan muncul lagi sampai kiamat. Kemudian dibarengi dengan mengikuti semua petunjuk dan larangannya, karena di”tangan” beliau-beliaulah segala rahasia memasuki kota ilmu itu berada.
Yang lebih menentukan lagi bahwa hanya perahu beliau-beliaulah yang dapat/bisa membebaskan umat manusia dari berbagai bencana yang melanda bumi – termasuk bumi Nusantara. Baik bencana yang datangnya dari alam semisal tsunami, gempa, meletusnya gunung api, banjir, kebakaran, tanah longsor, kekeringan, mewabahnya aneka macam penyakit – maupun yang datangnya dari manusianya sendiri, semisal makin maraknya korupsi, mengganasnya kejahatan dan yang mengerikan adalah makin hilangnya rasa kemanusiaan (berbagai bentuk pembunuhan).
Sedangkan wujud perahunya, bisa berupa jamaah, organisasi, gerakan, ataupun berbentuk apapun, yang jelas kesemuanya merupakan ”amar/sunnah” langsung dari ima tersebut.
Sebab kalau ditelusuri, berbagai bencana yang menimpa para umat zaman terdahulu (kaumnya Nabi Luth, kaumnya Firaun, kaumnya Nabi Nuh, dll) penyebabnya hanyasatu. Mereka semua mengingkari seruan/ajakan para utusan-Nya, yang selalu mengada di tengah-tengah umat manusia.
Semoga kita mendapatkan butiran ilmu_nya, dimengertikan apa yang telah menjadi ayat-ayat-Nya, dipertemukan dengan para Imam pilihan-Nya (yang tidak akan pernah ghaib), serta diberi kekuatan untuk menaiki perahunya serta menjelajah kota ilmu-Nya.
Imam Ali Ahlud dzikr
oleh : Dr. A. Chozin Affandi
Dalam khazanah Islam, kata Imam digunakan untuk mensifati seorang yang ahli ilmu agama seperti Imam al-Asy’ari, Imam al-Maturidi, Imam al-Ghazali, Imam al haramain, Imam as-Syafi’i, dan –lain-lain. Imam dalampengertian inilah yang kita pakai untuk memahami Imam Ali karena beliau disepakati bersama oleh kalangan Sunni maupun Syi’i sebagai acuan utama dalam tasawuf.
Ketika turun ayat tentang ahlu adz-dhikr, yakni “fas aluu ahlad-dhikri in kuntum laa ta’lamuun” Imam ‘Ali bin Abi Thalib berkata : “Kami adalah ahlud-dhikri. Penafsiran Imam Ali tentang ahlud-dhikrr ini terdapat dalam kitab tafsir at-Thabari.
Dalam Q.S Al-Anbiya : 8,
At-Thabari (Ibn Jarir at-Thabari, wafat 310 H) menyusun tafsir dengan judul “Jami al-Bayan fi Ta’wil al-Quraan”. Pada mujallid. 9, juzz 17, hal 6 menurunkan satu riwayat yang isinya bahwa Ali bin Abi Thalib berkata, ‘kami adalah ahlud-dhikr”. Teks asli dalam tafsir at-Thabari sbb.
“Dari Ahmad bin Muhammad at-Thusi, dari Abdurrahman bin Shalih dari Musa bin Usman dari Jabir al-Ju’fi, berkata : ketika turun ayat fas aluu ahlad-dhikri in kuntum la ta’lamuun”, berkata Ali bin Abi Thalib, “kami adalah ahlud-dhikr”.
Dalam tata bahasa Arab, kata-kata “kami” (terjemahan dari kata “nahnu”) adalah mutakallimin ma’al ghair). Artinya kata ganti nama “kami” memuat makna lebih dari satu orang (satu subyek). Misal, A adalah Haitsam, seorang guru berkata: ”Kami setiap hari memenuhi kewajiban kami mendidik siswa demi masa depan mereka sebagai generasi bangsa”. Kata kami tersebut tidak hanya untuk diri guru A saja, melainkan sekaligus mewakili teman-teman seprofesi. Demikianlah kata ”kami” yang digunakan oleh Imam Ali, tidak sebatas untuk menunjuk dirinya sendiri melainkan mewakili untuk orang lain yang juga ”ahlud-dhikr”, yakni Imam Hasan, Imam Husain, Imam Ali Zainul Abidin, Imam Muhammad al-Baqir.
Dalam sejarah tasawuf diriwayatkan bahwa Hasan al-Basri, (lahir 21 H, wafat 110 H) mula-mula menjadi murid Imam Ali ”ahlud dhikr”, setelah wafat Imam Ali (41 H), menjadi murid Imam Hasan (Wafat 50H), kemudian kepada Imam Husain (Wafat 61 H), kemudian menjadi murid Imam Ali Zainul Abidin. Hasan Basri adalah Sufi dari priode awal tabi’ien. Dia memimpin sebuah halaqah (ribat) yang didalamnya teman-teman seangkatan dan juga orang-orang yang menimba ketasawufan. Data sejarah menyebutkan, Hasan al-Bashri dan kawan-kawannya serta para murid (murid dalam arti ”orang yang punya kehendak menempuh jalan hidup para sufi”).
Imam Muhammad Al-Baqir juga berkata seperti apa yang telah dikatakan Imam Ali,”Kami adalah ahlud-dhikr”. Kata-kata beliau ini sebagai jawaban terhadap pertanyaan beberapa muridnya tentang ayat fas aluu ahlad-dhikri in kuntum la ta’lamuun, Imam Muhammad al-Baqir menjawab, ”kami adalah ahlud-dhikr”, demikian ditulis oleh Muhammad Jamaluddin Abdul Wahid al-Hanafi dalam tulisan singkatnya berjudul ”al Imam sayyid Muhammad Al Baqir. Putera beliau yakni Imam Ja’far as Shodiq, menurut data sejarah, dinyatakan sebagai Imam Tasawuf dan Imam kaum sufi dengan tidak membedakan apakah kaum sufi ini dari golongan sunni atau dari syi’i. Data sejarah ini dicatat oleh Abdul Qodir Mahmud dalam kitabnya, al falsafah as sufi’ah fil Islam pada hal. 157. Asal makna syi’ah adalah mengikuti jalan beragama.
”tasyayyu ’(menggabung, mengikut) dalam makna asal bahasa adalah mengikuti jalan beragama.
Setelah Rasulullah wafat, tercatat beberapa sahabat yang tetap setia bergabung, mengikuti dan menolong Imam Ali. Diantara mereka adalah Abu Darda, Abu Dhar al-Ghifari, Salman Al Farisi, Ammar bin Yasr, Miqda bin Aswad, Hudhaifah al-Yaman, Sahl bin Hanif, Abu Haitsam, Malin bin Syihab, Khalid bin Said, Ubadah bin Shamit, Abu Ayyub al-Anshari dan lain-lain, sebagian besar dari ahlus-suffah. Mereka adalah para fuqara’ yang tidak masuk dalam kekuasaan pemerintahan. Mereka memilih di bawah bimbingan Ali dalam menempuh jalan beragama karena mentaati washiyat Rasulullah dalam Ghadir Khum tentang Ali (man quntu maulahu, fahadha ’Ali maulahu: Allahuma waali man waalahu wa ’aadi man ’aadahu). Mustafa Kamil as Syaibi dalam kitabnya “as-Sillah baina at-tasawwuf wat tasyayyu” menyebut mereka adalah para syi’ah al awwalun; Abdul Qadir Mahmud dalam kitab al falsafah at tasawwuf fil Islam menyebutnya dengan ”syi’ah al mu’tadilun” (syi’ah jalantengah, syiah moderat. Istilah ini dilawankan dengan syi’ah ghullah, yakni syi’ah ekstrim). Syah Waliyullah ad Dihlawi dalam ”Mukhtashar itsna asyariah menyebutnya dengan syi’ah al mukhlisun”, Syiah yang murni, maksudnya, murni dalam menempuh jalan beragama. Dalam tulisan Kamil Mustafa, as-Syaibi kita baca teks sebagai berikut :
”mereka menjadikan Ali sebagai maula bukan karena tamak ingin memperoleh materi atau pangkat jabatan, tetapi sunguh-sungguh karena memenuhi wasiat Nabi saw ....
** Dikutip dari Khazanah Tasawuf karangan Dr. A. Chozin Affandi.
Khutbah Nabi di Ghadir Qum I
1.Sumber Data Khutbah Nabi di Ghadir Khum
Data khutbah Nabi ini diambil dari karya DR. Ali Akbar Shadeqi yang diterjemahkan ke bahasa Indonesia oleh Husein Shahab dan diterbitkan oleh Pustaka Pelita, Bandung, cetakan pertama pada April 1998. Ali Akbar Sadeqi juga menjelaskan data khutbah Ghadir khum ini terdapat dalam 18 belas kitab yang ditulis baik oleh ulama kalangan Sunni dan Syi’ah (lihat Ali Akbar Shadeqi; hlm. 19-21).
2. Pentingnya Studi Sejarah
Sejarah, kata Thomas S. Kuhn, penulis karya terkenal “The Structure of Scientific Revolution”, jika lebih dipandang sebagai khazanah daripada sekedar anekdot dan kronologi, dapat menghasilkan perubahan yang menentukan dalam citra pengetahuan.
Perubahan-perubahan interpretasi (penjelasan) di dalam sejarah, Kata Louis Gottschalk, sering disebabkan karena ditemukannya data dari sumbernya yang selama ini hilang atau tersembunyi. Dua teori di atas mengarah kepada makna yang sama, bahwa peluang terjadinya perubahan orientasi (wawasan) amat terbuka dalam memahami sejarah menyusul ditemukannya data sejarah dari sumbernya yang selama ini hilang atau tersembunyi.
Data sejarah umat Islam yang menggambarkan peristiwa penting di masa awal adalah khutbah Nabi Saw di Ghadir Khum ini. Pada dasa warsa tahun 1990 an, diskusi di sekitar masalah Ghadir Khum ini menampakkan kecenderungan yang meningkat meskipun belum naik ke atas permukaan sejarah dan menjadi arus yang dominan dalam perjalanan sejarah umat Islam. Situasi semacam ini merupakan karunia sejarah bagi kita warga Jama’ah Lil-Muqorrobien untuk ikut mengambil peran dalam usaha menjadikan data Ghadir Khum ini menjadi tema utama dalam wacana peradaban menuju terjadinya tranformasi orientasi (perubahan wawasan). Transformasi macam ini berada pada dataran teoritik dan intelektual, yang pada gilirannya, diharapkan bisa melahirkan perubahan sikap pada dataran praktis dan moral (tingkah laku).
Meminjam model hermeneutika-filsafat Martin Heidegger, bahwa tujuan dari pemahaman terhadap teks (termasuk data sejarah) tidak lagi untuk memperoleh pengetahuan yang obyektif sebagaimana anjuran dari hermeneutik teori model Emilio Bettti, melainkan bertujuan praktis, yakni lahirnya pengetahuan yang relevan yang dapat membuat perubahan bagi seseorang karena menyadari diperolehnya peluang-peluang baru guna membentuk esksistensi diri dan tanggung jawabnya bagi masa depan.
Khutbah Ghadir Khum, jelas, memiliki peluang melahirkan orientasi baru dan dengan demikian juga punya peluang melahirkan eksistensi manusia baru. Khutbah Ghadir Khum ini berpeluang menggugah kesadaran batin seseorang setelah akal sehatnya yang bening dan tanpa prasangka nafsu mengakui keabsahan data ini secara obyektif.
3. Isi Pokok dan Garis besar Khutbah Ghadir Khum
Isi pokok khutbah Ghadir Khum adalah kepemimpinan umat sesudah Nabi Muhammad Saw ada pada Ali kemudian dilanjutkan oleh para imam sesudah Ali dari keturunan Nabi Saw melalui jalur Ali serta ketentuan baiat kepada Ali dan para imam sesudahnya.
Secara garis besar, Khutbah Ghadir Khum ini dapat dipilah menjadi dua bagian;
a. Bagian pendahuluan memuat puji-pujian dan keagungan Allah dan diakhiri dengan pernyataan terbuka bahwa Nabi diperintahkan untuk menyam-paikan satu ayat firman Allah yang berkait dengan pesan risalah mengenai kepemimpinan umat setelah beliau.
b. Bagian kedua berisi materi khutbah. Bagian ini dapat dijabarkan dalam beberapa poin; yakni teknis dan sasaran seruan, ide yang terkandung dalam materi khutbah, targhib dan tahdid (harapan dan ancaman), serta kepemim-pinan para imam dari keturunan Nabi Saw yang lahir dari darah Ali.
i). Teknis dan sasaran (mukhatab) seruan.
Khutbah di Ghadir ini disampaikan kepada lebih dari seratus ribu umatnya yang hadir dalam peristiwa ini.. Nabi Saw tidak menyeru mereka dengan ungkapan “wahai orang-orang mukmin” (ma’asyiral-mukminin) melainkan dengan “wahai manusia” (ma’asyiran-nas;), dan seruan dengan ungkapan ini diulang sebanyak 53 kali. Dua kali seruan lainnya menggunakan ungkapan “ayyuhan-nas”.
Persoalan mengenai mengapa Nabi Saw tidak menggunakan ungkapan "wahai orang-orang mukmin” melainkan dengan “wahai manusia” terhadap mereka yang hadir dalam khutbah ini terjawab dari isi (materi atau isi yang terkandung) di dalam khutbah beliau yang mengklasifikasikan mereka yang hadir di hadapan beliau menjadi dua kelompok;
- orang-orang yang muttaqin,
- orang-orang munafiqin yang jumlahnya jauh lebih banyak dari kelompok muttaqin.
Secara teknis, kajian analisis ini akan memberi nomer untuk setiap seruan “ma’asyiran-nas” dan “ayyuhan-nas” mulai dari nomer 1 sampai nomer terakhir. Setelah itu disertakan terjemahannya ke dalam bahasa Indonesia, kemudian diberikan pokok-pokok isi khutbah.
ii). Ide yang terkandung dalam materi Khutbah
Ide sentral dan pokok khutbah Nabi Saw menggambarkan dua hal; yaitu tentang status Ali bin Abi Thalib serta para Imam sesudahnya dan tentang peran yang diemban oleh mereka. Sebelumnya akan dikemukakan penjelasan teoritik mengenai status dan peran.
Teori Mettu Zachariah memberikan penjelasan tentang perbedaan “status” dan “peran”. Menurutnya, status menggambarkan kedudukan dan posisi seseorang dalam suatu struktur masyarakat; sedangkan peran menggambarkan rincian-rincian tugas, penjelasan-penjelasan yang berkait dengan terpenuhinya perbuatan yang seharusnya dilaksanakan oleh seseorang yang menempati posisi tertentu. Kepala Desa, misalnya, adalah status atau jabatan di dalam suatu struktur masyarakat yang padanya ada peran yang harus dipenuhi. Seseorang yang menduduki jabatan sebagai Kepala Desa dituntut memenuhi perannya yang harus dilaksanakan sebagai Kepala Desa. Suami atau Bapak adalah kepala keluarga; dan sebagai kepala keluarga dia harus memainkan peran yang seharusnya dipenuhi oleh kepala keluarga. Pada hemat kami, status berkait dengan potensi atau fakta kualitas seseorang, misalnya, dia diangkat menjadi Kepala Desa atau Kepala Sekolah atau sebagai Pemimpin masyarakat karena dia memang punya potensi dan kualitas untuk menduduki jabatan tersebut. Sementara itu, peran berkait dengan kewajiban-kewajiban, tugas-tugas, harapan-harapan yang harus dipenuhi menyusul kedudukan dan jabatan yang diperoleh seseorang.
ii-a). Status sayyidina Ali as (‘alaihis-salam),
dalam khutbah Ghadir Khum ini, Nabi Saw menjelaskan kepada umatnya yang hadir dalam khutbah itu mengenai berbagai status Ali. Secara eksplisit status Ali dinyatakan oleh Nabi Saw.
ii-b). Potensi dan Kualitas sayyidina Ali as (‘alaihis-salam)
Status Ali tersebut berkait dengan potensi dan kualitas-kualitas yang ada pada dirinya sebagaimana diungkapkan sendiri oleh Rasulullah Saw. Potensi-potensi dan kualitas-kualitas itu antara lain:
“Dia (Ali) adalah orang yang paling utama sesudahku di antara laki-laki dan wanita di mana Allah memuliakannya, Dia orang yang menyertai Rasulullah dalam menyembah Allah manakala tak ada seorang pun menyertai Rasulullah selain dia (dalam menyembah Allah), Dia adalah penolong agama Allah dan pembela Rasulullah, dia seorang yang taqwa dan suci yang memberi petunjuk, ingatlah, sesungguhnya Ali adalah orang yang berwatak sabar, dan mau bersyukur dan setelah dia adalah keturunanku yang terlahir dari dirinya (dari sulbinya), dia adalah jalan lurus (sirathal-mustaqim) sesudahku kemudian dilanjutkan keturunanku dari dirinya, yakni para imam yang memberi bimbingan ke jalan yang haq dan dengan jalan yang haq itulah mereka berlaku adil, aku (Nabi Saw) telah memberikan semua ilmu yang aku miliki kepada Ali”.
ii-c). Para Imam sesudah Imam Ali, dan Imam yang Terakhir.
Di dalam khutbah di Ghadir Khum ini Nabi Muhammad Saw menggambarkan para Imam sesudah sayyidina Ali as dan Imam yang terakhir antara lain;
"Al-Quran memberitahu kepadamu bahwa para Imam sesudah Ali adalah putera-puteranya. Aku (Nabi Saw) juga memberitahu kepadamu bahwa sesungguhnya dia (Ali) adalah aku dan aku adalah dia sebagaimana difirmankah oleh Allah: “Dia menjadikan kalimat tauhid sebagai kalimat yang kekal pada keturunannya”. (S. 433: 28).
“Kemudian setelah aku (Rasulullah Muhammad Saw) adalah Ali yang menjadi walimu (pemimpin, pembimbing, pelindungmu) dan imam kamu atas dasar perintah Tuhanmu kemudian imamah (kepemimpinan) itu ada dalam keturunanku dari jalur Ali sampai nanti hari kamu sekalian bertemu Allah dan RasulNya (hari kebangkitan).
"Sesungguhnya Allah menyempurnakan agama kamu dengan keimamahan Ali; barangsiapa yang tidak mengikutinya (Ali) dan tidak mengikuti para penggantinya dari keturunannku dari jalur Ali sampai hari kiamat dan hari perjumpaan dengan Allah mereka adalah orang-orang yang amal perbuatannya gugur (terhapus) dan mereka akan kekal di dalam neraka dan tidak ada keringganan azab dan mereka akan terabaikan”.
“Nur cahaya dari Allah telah mengalir ke dalam diriku kemudian mengalir ke dalam diri Ali kemudian kepada anak keturunan darinya sampai kepada al-Qaim al-Mahdi yang mengembalikan haq Allah dan haq kami kepada tempatnya”.
“Sesungguhnya aku telah serahkan masalah imamah umat dan mewariskannya kepada imam-imam sesudahku sampai hari kiamat; sungguh aku telah menyampaikan apa yang diperintahkan untuk disampaikan kepada semua yang hadir di sini dan yang tidak hadir”.
“Aku (Nabi Muhammad Saw) adalah jalan Allah yang lurus yang kamu sekalian diperintahka untuk mengikutinya, kemudian dilanjutkan oleh Ali dan kemudian dilanjutkan oleh anak keturunanku dari jalur Ali; yakni para imam yang membimbing kepada yang haq (benar) dan dengan yang haq itu mereka berlaku adil”.
“Ketahuilah bahwa penutup para imam adalah al-Qaim al-Mahdi (penegak yang haq dan orang yang memperoleh hidayah), ketahuilah bahwa dia adalah penegak agama, dia adalah pembela aggama Allah, dia adalah orang yang tenggelam dalam samudera (makrifat dan hakikat) yang amat dalam, dia adalah pewaris segala ilmu (utamanya ilmu hakikat) dan menguasainya, dia adalah pembawa berita dari Allah dan pemberi peringatan mengenai masalah iman, dia adalah imam terakhir pembawa hujjah dan selain dia tidak ada hujjah, dan tidak adalah kebenaran kecuali selalu bersamanya (dia adalah lambang kebenaran, atau dia adalah kebenaran itu sendiri), tidak ada nur cahaya kecuali hanya ada padanya, tidak ada kekuatan yang mengalahkannya dan tidak akan ada yang menang atasnya”
ii-d). Peran Imam Ali dan para Imam sesudahnya,
“Dialah (Ali) orang yang memberi bimbingan ke jalan yang haq dan dia sekaligus mengaktualisasikannya dan dia menghancurkan apa yang batil dan mencegahnya tanpa peduli terhadap cercaan orang yang mencercanya”.
“Dia (Ali) adalah pembela agama Allah dan pelindung Rasulullah”.
“Nur cahaya Allah mengalir ke dalam diriku kemudian ke dalam diri Ali kemudian ke dalam keturunannya sampai kepada Imam al-Qaim al-Mahdi yang (berperan) mengembalikan haq Allah dan haq kami ke tempat yang semestinya. Allah menjadikan kami hujjah dan bukti kebenaranNya atas orang-orang yang membangkang, penentang, pengingkar, pengkhianat, pelaku dosa dan para orang-orang dhalim dari seluruh manusia”.
“Ketahuilah bahwa penutup para imam adalah al-Qaim al-Mahdi (penegak yang haq dan orang yang memperoleh hidayah), ketahuilah bahwa dia adalah penegak agama, dia adalah pembela aggama Allah, dia adalah orang yang tenggelam dalam samudera (makrifat dan hakikat) yang amat dalam, dia adalah pewaris segala ilmu (utamanya ilmu hakikat) dan menguasainya, dia adalah pembawa berita dari Allah dan pemberi peringatan mengenai masalah iman, dia adalah imam terakhir pembawa hujjah dan selain dia tidak ada hujjah, dan tidak adalah kebenaran kecuali selalu bersamanya (dia adalah lambang kebenaran, atau dia adalah kebenaran itu sendiri), tidak ada nur cahaya kecuali hanya ada padanya, tidak ada kekuatan yang mengalahkannya dan tidak akan ada yang menang atasnya”
Khutbah Nabi di Ghadir Qum II
iii). Targhib dan tahdid
Targhib adalah kabar yang menggembirakan (memberikan harapan) sedangkan tahdid adalah kabar yang menyedihkan. Kabar yang menggembirakan ditujukan kepada mereka yang memegang teguh pesan terakhir Nabi Saw yang berasal dari Allah SWT mengenai kepemimpinan sesudah beliau yang diberikan kepada Ali bin Abi Thalib atas kehendak Allah SWT. Sedangkan kabar yang menyedihkan ditujukan kepada mereka yang mengingkari dan menolak pesan terakhir Nabi Saw ini.
iii-a). Targhib
Targhib adalah berita yang menggembirakan yang terkandung di dalam khutbah Nabi Saw ini yang di alamatkan kepada mereka yang mau mengikuti jalan (sunnah) yang di amalkan oleh Imam Ali as. Dalam khutbah ini, Imam Ali tidak mungkin kita pahami sebatas keadaan beliau sebagai pribadi tak ubahnya pribadi-pribadi lain, sebab dengan demikian maka akan tidak menjadi bermakna sama sekali pemberian status dan peran Nabi Saw atas Ali sebagai Imam, sebagai wali sebagai maula sebagai khalifahnya dan sebagai Amirul-mukminin. Pesan Nabi Saw agar kita mengikutinya adalah mengikuti sunnah yang ditetapkan olehnya. Inilah hakekat yang dapat kita tangkap dari pesan Ghadir Khum jika kita berkehendak menempatkan khutbah ini memiliki makna yang relevan dengan keseluruhan teks khutbah. Sebagaimana kita lihat, isi khutbah Rasulullah tidak mengkaitkan status dan peran Imam Ali as dengan kehidupan bernegara atau berpolitik melainkan lebih menekankan pada jalan spiritual yang haq, bertemu Allah, dan beribadah kepadaNya.
Contoh targhib dalam khutbah Rasulullah,
“Ya Allah, berilah kasih sayangmu kepada orang yang mencintai Ali, musuhilah orang yang memusuhi Ali, kutuklah orang yang mengingkari Ali, dan murkailah orang yang menghujat haknya”.
“Dengarlah perintahnya (Ali) niscaya kamu selamat, taatilah niscaya kamu mendapat hidayah, hindarilah apa yang dilarangnya niscaya kamu mendapat petunjuk, dan bersikaplah (berjalanlah) ke arah yang ditunjukannya dan janganlah kamu menyimpang dari jalannya”.
“Barangsiapa yang taat kepada Allah, kepada RasulNya dan kepada Ali dan kepada para Imam sesudahnya yang telah kami tuturkan kepada kamu, maka dia akan memperoleh kebahagiaan yang gemilang”.
“Ketahuilah bahwa dasar (pangkal) amar makruf dan nahi munkar adalah kemauan kalian menerima sabdaku sebagai sesuatu yang final, kemudian kamu mau menyampaikannya kepada orang-orang yang tidak hadir (di Ghadir Khum ini) dan kamu memerintahnya untuk menerima pesan ini dan melarang mereka menentangnya (mengingkarinya) karena sesungguhnya pesan ini dari Allah dan dari aku; sesungguhnya tidak ada amar makruf dan nahi munkar kecuali dengan bersamaan dengan (adanya) Imam yang maksum”.
iii-b). Tahdid
Tahdid adalah berita yang menyedihkan atau khabar ancaman. Dalam khutbah di Ghadir Khum ini Rasulullah mengalamatkan tahdid (ancaman) kepada mereka yang menolak, mengingkari, bersikap takabur tidak mau menerima pesan Rasulullah di Ghadir tentang keimamahan Ali as dan yang kemudian dilanjutkan oleh para Imam yang datang sesudahnya. Teks yang bermuatan tahdid antara lain;
“Ketahuilah bahwa malaikat Jibril memberitakan kepadaku dari Allah Swt mengenai kepemimpinan, “Siapa yang memusuhi Ali dan tidak mau menerima kepemimpinannya niscaya dia akan menerima laknatKu dan kemurkaanKu”.
“Sesungguhnya orang yang membenci Ali adalah orang yang celaka, dan yang mengakui kepemimpinan Ali adalah orang-orang yang takwa, dan yang mempercayai Ali adalah orang mukmin yang mukhlis”. "Ketahuilah bahwa musuh-musuh Ali adalah orang-orang yang celaka, munafiq, pelanggar batas, mereka adalah orang-orang yang melampaui batas dan menjadi teman syaitan yang saling mebisik-bisikkan kata-kata yang indah untuk menipu manusia”.
“Sesungguhnya dia (Ali) adalah Imam dari Allah (berasal dari perintah Allah); Allah tidak akan mengampuni orang-orang yang mengingkari kepemimpinannya dan Dia tidak akan mengampuninya sama sekali; inilah kepastian perbuatan Allah terhadap orang yang menentang perintahNya dalam masalah ini dan Dia akan mengazabnya dengan azab yang sangat berat, dahsyat dan selama-lamanya. Awas! janganlah kamu mengingkarinya karena perbuatan ini akan mengantarkanmu masuk neraka yang bara apinya dari manusia dan bebatuan yang disiapkan bagi orang-orang kafir”.
iv). Tentang bai’at
"Perhatikanlah pada penutup khutbahku ini aku menyeru kamu mengulurkan tangan kepadaku sebagai tanda bai’at padanya (Ali) dan pengakuan setia padanya dan sesudah aku nanti, kamu harus mengulurkan tangan kepadanya (sebagai tanda bait dan kesetiaan padanya).
“Maka aku diperintah mengambil bai’at dari kamu dan kesetiaanmu agar menerima apa-apa yang kubawa dari Allah Azza wa jalla berkenaan dengan masalah Ali selaku Amirul-mukminin dan demikian juga terhadap para Imam sesudahnya dari para keturunanku dan keturunannya dan salah satu di antara para Imam itu adalah al Mahdi sampai nanti Hari Kiamat yang memgemban (menunaikan) kepemimpinannya dengan benar”.
“Apa yang kalian katakan maka sesungguhnya Allah mengetahui setiap suara dan apa yang dirahasiakan (tidak diucapkan) oleh setiap diri; maka barangsiapa memperoleh hidayah, keberuntunganlah baginya, dan barangsiapa yang sesat maka kesesatannya itu akan menimpanya pula, dan barangsiapa yang mau berbai’at sesungguhnya ia berbai’at kepada Allah, kekuasaan Allah berada di atas kekuasaan mereka.
Bertakwalah kepada Allah dan bai’atlah kepada Ali, Amirul-mukminin dan kepada Hasan dan Husein dan kemudian berbai’at kepada para Imam simbol kalimatan thayyibatan baqiyatan di mana Allah akan menghancurkan siapa saja yang lari (dari bai’at) dan memberi rahmat kepada siapa yang memenuhinya”
“Mereka yang bersegera memenuhi bai’at kepadanya dan menjadikannya pembimbingnya dan menerimanya sebagai Amirul mukminin adalah orang-orang yang berbahagia dan akan berada di dalam surga yang penuh rasa kenikmatan”.
Teks khutbah tentang perintah bai’at kepada Ali dan para Imam sesudahnya ini, sudah tentu, berkait dengan status Ali dan para Imam sesudahnya serta peran mereka dalam membimbing umat dalam menempuh jalan yang haq dari Allah dan mengamalkannya serta dalam merealisasikan taqwa. Ide bai’at kepada Ali dan para Imam sesudahnya sebagaimana dalam isi khutbah Nabi Muhammad Saw tidak berkonotasi politis. Karena itu seandainya pun Ali dan para Imam sesudahnya tidak memegang kekuasaan politik setelah wafat Nabi Saw, keharusan memenuhi bai’at pada Ali dan para Imam sesudahnya tetap berlaku. Sebab, membai’at Ali dan para Imam sesudahnya tidak berarti membai’at mereka sebagai pemimpin negara dan pemegang kekuasaan politik, akan tetapi sebagai Wali, Maula, Khalifah, Amirul-mukminin, Imam yang membawa umatnya berjalan di atas jalan yang haq menuju Allah Swt, dalam meneguk air ma’rifat dan dalam menyelam ke dalam kedalaman samudera hakikat. Dalam konotasi makna inilah maka mereka yang memberikan bai’at kepada Ali dan para Imam sesudahnya tidak melakukan usaha memberontak kepada penguasa politik yang berlaku secara de facto dan de jure.
Allah Swt sendiri memilih dan mengangkat Muhammad Saw sebagai Nabi dan Rasul daripada sebagai Kepala Negara atau Kepala Pemerintahan seperti banyak ditunjukkan dalam banyak ayat di dalam al-Quran. Memang tidak bisa dipungkiri bahwaa dalam kenyataan sejarah, Nabi Muhammad Saw juga sebagai pemimpin sebuah masyarakat Muslim yang berada dalam satu wilayah tertentu dan memiliki kedaulatan dan hak menentukan nasibnya. Nabi juga memimpin mereka bertahan menghadapi perlawanan musuh yang mengancam dan hendak menghancurkan mereka. Akan tetapi bukan fakta politik ini yang lebih ditekankan oleh al-Quran terhadap status Nabi Muhammad Saw melainkan pada ide pembawa risalah yang mengajak umat manusia mengikuti ketentuan-ketentuan Allah dalam melakukan hubungan kepada Allah maupun kepada sesama manusia dalam berbagai aspek; berekonomi, bernegara, berpemerintahan, bermasyarakat, menjalin kerja sama. Dalam dua demensi hubungan itu -vertikal dan horizontal - Nabi Muhammad Saw menekankan pada al-akhlak al-karimah sebagai sarana mengadakan hubungan.
Ketika dalam kenyataan sejarah Ali tidak memegang kekuasaan politik sepeninggal Rasulullah Muhammad Saw yang disebabkan oleh perpecahan dan pertentanagan sesuatu yang berbeda dengan masyarakat muslim yang masih utuh di bawah kepemimpinan Nabi Muhammad Saw - ide yang menekankan keimamahan Ali tetap berlaku.
Ide keimamahan ini tidak diberlakukan untuk pemberontakan politik atau usaha-usaha sejenisnya terhadap pemerintahan yang dipegang oleh penguasa selain Ali dan anak keturunannya karena memang tekanan makna dari ide itu tidak diperuntukkan bagi kehidupan berpolitik melainkan dalam merealisasikan kualitas hubungan vertikal (ibadah kepada Allah) dan kualitas hubungan horisontal, sesama manusia. Nilai hubungan vertikal yang bisa mencapai kualitas ma’rifat billah dan hubungan horisontal sebagai buah dan implikasi dari hubungan vertikal tersebut diperlihatkan dalam wujud “al-akhlaq al-karimah al-mahmudah”, perilaku moral yang terpuji dan mulia, dan ini merupakan fondasi kepribadian diri.
PENUTUP
Pada dasarnya semua agama semestinya mengajarkan tujuan keberagamaan, menata kehidupan yang rahmatan lil-alamin, yaitu berusaha selalu mencari asal-usul bermulanya kehidupan, menuju ke satu-satunya jalan untuk pulang kembali dengan selamat sampai kepadaNya. Sehingga setiap tingkah dan lakunya selalu sadar bahwa semata-mata menjalankan kehendakNya. Hal demikian hanya dapat dilakukan jika berkeinginan mencari tuhan, karena tuhan tidak berkehendak menampakkan diri dimuka bumi ini, oleh sebab itu dipilih utusan yang dikehendakiNya, untuk mengajarkan manusia tentang kebaikan dalam kehidupannya didunia ini, dan membekali manusia dengan ilmu untuk mengenali diriNya agar dapat pulang kembali dengan selamat menuju rumah keabadianNya.
Ilmu Nubuwwah yang diajarkan oleh para Nabi dan Rasul hanya diberikan kepada hamba yang memang benar-benar mencari tuhannya, tidak menjadikan agama sebagai obyek untuk kepentingan-kepentingan duniawi semata, tetapi yang seharusnya adalah berupaya mensucikan diri, berjihadunnafsi, selalu merasa bergantung kepadaNya, selalu menghambakan diri, dan berusaha untuk hanya merasakan diriNya Ilahi (marifah billah, dan menafikan segala sesuatu) untuk dapat pulang kembali kepadaNya.
Pada jaman Rasulullah Muhammad saww, hanya sedikit sahabat (kurang lebih 200-an) yang diajarkan tentang ilmu nubuwwah (ilmu dhikr), dan merekalah sebenarnya yang disebut-sebut dalam sejarah sebagai ahlul baitnya nabi.
Sepeninggal beliau, hanya tinggal sedikit sahabat yang terpanggil hatinya untuk membela hak-hak Allah dan RasulNya. Kemudian mereka disebut dalam sejarah yang sengaja diputarbalikkan sebagai syiah Ali. Padahal Syiah bukan berarti golongan atau pengikut, syiah adalah asysyiatun, atau dimisalkan matahari, yang mencahaya dalam dada NabiNya dan para penerusnya. Disebut juga sebagai nubuwwah syamsiah, sedangkan pada murid disebut nubuwwah qomariah, yang hanya mencahaya dengan cahaya Ilahi jika berada dalam orbit kenabian, yaitu berbai’at kepada penerus hak-hak Allah dan RasulNya.
Besarnya permusuhan iblis dan bala tentaranya diantara manusia terhadap keberadaan penerus ilmu nubuwwah, telah menyebabkan ilmu ini disembunyikan tuhan, agar pada saatnya nanti dapat benar-benar menjadi hikmah untuk mewujudkan misi rahmatan lil-alamin.
Penerus risalah rasul, mulanya disebut sebagai Imam, karena dalam sejarah Islam para imam tersebut yang jumlahnya baru sampai 12 orang, hampir semuanya dibunuh, bahkan Al-Mahdi Al-Muntazar dikehendaki Allah untuk Murca fialamillahi ta’ala, maka imam-imam berikutnya bersembunyi (attakiah) atas petunjukNya, menyamar sebagai Syech atau Guru, bahkan Kyai, dan ilmu nubuwwahpun dibungkus dengan nama “tarikat”, sedangkan kajian-kajiannya disebut dengan “tasawuf”.
Akan tetapi diakhir jaman ini tibalah saatnya untuk mulai melepas satu-demi satu pakaian samaran, yang telah memasuki jaman mukmin dimana setiap manusia yang berkehendak bertemu tuhannya dimudahkan untuk meyakini kebenaran risalah rasulullah, dimudahkan untuk memahami ilmu marifat billah.
Saat ini ummat manusia sudah menyongsong datangnya jaman Al-Mahdi jaman akhir, jaman dimana kita mudah disadarkan bahwa ditengah-tengah kita hadir hamba yang dikehendakiNya meneruskan risalah RasulNya. Al-Mahdi Ar-Rashidin, penunjuk jalanNya yang bijaksana. Hanya hamba Allah yang ikhlas hendak bertemu dengan tuhannya, dan dapat menarik berbagai hikmah dalam sejarah ummat-ummat Nabi terdahulu, dan sejarah ummat Islam khususnya yang mendapat kemudahan ditarik dalam fadhal dan rahmatNya.
Telah datang waktunya Allah swt membangkitkan pemberi petunjuk kepada jalan kebenaran Al-Qaim Al-Mahdi. Bagi yang mengingkari-nya Allah sendiri yang akan membereskannya.
WASIAT IMAM ALI
Petunjukku kepada kalian adalah "janganlah menganggap apa pun dan siapapun sebagai sekutu Tuhan; kukuhlah dalam keyakinan kalian bahwa Tuhan hanyalah Allah. jangan sia-siakan pengetahuan yang dianugrahkan kepada kalian oleh Nabi SAW, dan jangan tinggalkan atau rusak sunnah (tradisi-tradisi) beliau. Junjung tinggi-tinggi pilar Islam ini (tauhid dan sunnah Nabi SAW). jika kalian ikuti nasihatku, kalian tak bisa dituding sebagai perusak agama".
sampai kemarin aku pemimpin kalian, hari ini aku hanyalah objek yang bisa kalian ambil pelajaran dan peringatan, dan besok aku akan berpisah dengan kalian. jika aku selamat dari cidera fatal ini, aku akan leluasa untuk memutuskan bagaimana memperlakukan orang yang berupaya membunuhku. Seandainya aku meninggal, berarti kehidupan duniawiku berakhir sudah. kalau aku memaafkan pembunuh ku, maka itu untuk memperoleh rahmat Allah atas pemberian maaf kepada seseorang yang telah menjahati kalian, dan merupakan amal salih kalian jika kalian juga memaafkannya. Apakah kalian tidak ingin diampuni Tuhan? Aku bersumpah demi Allah bahwa kedatangan maut kepadaku bukanlah sedemikian tiba-tiba dan tak disangka-sangka sehingga tak aku sukai, dan bahwa maut bukanlah tamu yang yak aku inginkan kedatangannya. Sejauh menyangkut mati syahid, aku selalu mendambakannya, dan aku kini menyambutnya dengan senang hati, laksana orang kehausan yang menemukan air ketika dahaga sudah luar biasa mencekik kerongkongan. Aku adalah orang yang mencari sesuatu , dan dalam syahadah sesuatu itu dia dapatkan. bagi si Takwa dan si Salih, yang terbaik adalah apa yang didapatinya di sisi Allah.
by: An_ikhsan@yahoo.com
SURAT 23; Nasihat Imam Ali untuk keluarga sesat sebelum meninggal.
radhi, sayrif.2006.Nahjul Balaghoh; kumpulan surat dan ucapan Amirul Mukminin Ali ibn Abi Thalib.jakarta.penerbit lentera